Senin, 17 November 2014


KISAH NABI DAUD DAN NABI SULAIMAN ‘alaihimassalam

dawudNabi Daud Alaihis Salam serta Nabi Sulaiman Alaihis Salam keduanya termasuk golongan nabi-nabi terbesar dari Bani Israil, dimana Allah Ta’ala mengumpulkan pada keduanya antara kenabian, hikmah (ilmu) serta kerajaan yang besar lagi kuat. Nabi Daud Alaihis Salam adalah anggota pasukan tentara yang berjuang bersama Thalut dan termasuk salah seorang nabi dari nabi-nabi Bani Israil yang dipilih menjadi raja yang berkuasa atas Bani Israil karena keberaniannya, kekuatannya serta kelapangan ilmunya dalam bidang politik dan pengaturan pasukan tentara seperti disinyalir Allah Ta’ala di dalam firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ [البقرة : 247]
“Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” (Al-Baqarah: 247).
Thalut dan pasukan tentaranya berperang melawan Jalut dan pasukan tentaranya. Pasukan tentara Thalut tetap sabar dalam menghadapi mereka disertai dengan memohon pertolongan kepada Allah, maka Nabi Daud Alaihis Salam mengobarkan semangat yang tinggi dan keberanian yang besar dalam diri pasukan tentara Thalut, dengan tangannya sendiri ia langsung membunuh Jalut raja mereka, sehingga timbul kekacauan dan ketakutan pada pasukan tentara Jalut yang masih tersisa, dan akhirnya mereka kabur melarikan diri dari medan perang dan Allah memberikan kemenangan kepada pasukan tentara Bani Israil (Thalut).
Allah Ta’ala menjadikan Daud Alaihis Salam sebagai nabi dan memberinya hikmah (ilmu) dan kerajaan yang kuat, sebagaimana Allah Subhanahu WaTa’ala berfirman,
وَشَدَدْنَا مُلْكَهُ وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ [ص : 20]
“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan” (Shad: 20).
Allah juga memberinya kekuatan dalam beribadah dan kecerdasan, dimana Allah menyifatinya dengan kedua sifat tersebut yang menunjukkan kesempurnaan seorang hamba, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
اصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَاذْكُرْ عَبْدَنَا دَاوُودَ ذَا الْأَيْدِ إِنَّهُ أَوَّابٌ [ص : 17]
“Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia amat taat (kepada Allah).” (Shad: 17).
Allah menyifatinya dengan kekuatan yang besar dalam menunaikan perintah Allah, dan ia taat terhadap perintah-Nya karena kesempurnaan pengetahuan terhadap Allah. Allah Ta’ala telah menundukkan untuknya burung dan gunung yang membaca tasbih bersamanya. Kemudian Allah pun menganugerahkan kepadanya suara yang bagus dan merdu; yang tidak dimiliki seorang pun di jagad raya ini.
Ia biasa tidur tengah malam dan bangun pada sepertiga bagian dari waktu malam serta tidur kembali pada seperenam bagian dari waktu malam. Kemudian ia berpuasa satu hari dan berbuka satu hari.
Jika ia bertemu dengan musuh, niscaya orang-orang yang melihatnya akan mengagumi keberaniannya. Allah Ta’ala telah melunakkan besi baginya dan memberi pengetahuan untuknya cara membuat baju besi sebagai alat pelindung tubuh dalam berperang, dan ia merupakan orang yang pertama kali membuat baju besi yang nyaman dipakai dan mempunyai beberapa bolongan sebagai pelindung tubuh serta ringan dibawanya. Allah Ta’ala telah menegurnya karena suatu dosa yang diperbuatnya saat Allah mengutus kepadanya dua malaikat dalam wujud dua orang yang berseteru.
Kedua malaikat itu mendatanginya saat ia sedang berada di mihrabnya, dan ia merasa kaget dengan kedatangan mereka, karena mereka mendatanginya pada waktu dimana tidak seorang pun boleh memasukinya dan mereka memasuki mihrab itu dengan memanjat, seraya berkata, “Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.” (Shad: 22). Selanjutnya salah seorang dari keduanya menceritakan suatu kisah, seraya ia berkata, “Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina,” yang dimaksud dengannya adalah istri “dan aku mempunyai seekor saja. Maka ia berkata, “Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan.” (Shad: 23). Yakni argumennya lebih kuat dari argumenku, sehingga ia mengalahkanku dalam perdebatan itu. Nabi Daud Alaihis Salam berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini.” (Shad: 24). Nabi Daud Alaihis Salam mengetahui; bahwa orang itu menghendaki supaya dia-lah yang mendapat putusan tersebut, dan Nabi Daud Alaihis Salam menyadari hal itu, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Rabbnya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (Shad: 24-25). Kemudian Allah Ta’ala menghapus dosanya dan setelah bertaubah perbuatannya lebih baik dari sebelumnya, sehingga ia pun memperoleh kedudukan yang agung di sisi Rabbnya dan balasan yang baik. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Daud Alaihis Salam, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Shad: 26).
Sedangkan berkenaan dengan Sulaiman bin Daud Alaihis Salam, bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya kenabian dan mewarisi keilmuan, kenabian dan kerajaan bapaknya. Allah menambah karunia-Nya kepadanya dengan menjadikannya sebagai seorang raja yang agung yang tidak dikaruniakan kepada seorang pun baik yang sebelumnya maupun yang sesudahnya. Allah menundukkan angin kepadanya, sehingga angin akan berhembus sepoi-sepoi sesuai perintah dan keinginannya, atau angin akan berhembus dengan mudah sekiranya ia menghendakinya, dimana perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan. Allah Ta’ala juga menundukkan jin, syetan serta ifrit (sebangsa syetan) kepadanya, dimana mereka akan melakukan sejumlah perbuatan yang besar sesuai dengan yang dikehendakinya, dan mereka akan melakukan perbuatan yang dikehendakinya seperti: membangun gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang besarnya seperti kolam dan periuk yang tetap berada di atas tungku yang akan pergi dan datang menuruti perintahnya sekiranya ia menghendakinya. Allah Ta’ala juga menundukkan kepadanya pasukan tentara dari kalangan manusia, jin serta burung, dimana mereka berbagi tugas dengan perencanaan yang aneh dan aturan yang sulit dimengerti.
Allah Subhanahu WaTa’ala mengajarinya perkataan burung dan binatang-binatang lainnya, dimana binatang-binatang itu berbicara kepadanya, dan ia pun memahami apa yang dikatakan binatang-binatang tersebut. Karena itu maka burung hud-hud berbicara kepadanya dan melakukan suatu penyelidikan. Kemudian ia pun mendengar seruan seekor semut kepada kaumnya: “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (An-Naml: 18). Semut itu memperingatkan dan memerintahkan supaya berhati-hati terhadap bahaya yang mengancam mereka sehubungan dengan kedatangan Nabi Sulaiman Alaihis Salam serta pasukan tentaranya. Nabi Sulaiman Alaihis Salam pun tersenyum mendengar perkataan semut itu seraya berdo’a: “Ya Rabbku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.” (An-Naml: 19).
Di antara peraturannya dan kepemimpinannya yang baik adalah memeriksa pasukan tentaranya langsung oleh dirinya, meskipun ia telah menunjuk bagi mereka sejumlah pimpinan. Firman Allah Ta’ala, “… lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan).” (An-Naml: 17), sebagai dalil atas perbuatan tersebut, bahkan ia pun memeriksa pasukan burung-burung untuk melihat apakah mereka semuanya telah berada di markasnya, seraya ia berkata, “Mengapa aku tidak melihat burung hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir?” (An-Naml: 20). Penafsirannya ayat di atas bukanlah seperti yang dituturkan oleh kebanyakan mufassir, bahwa Nabi Sulaiman Alaihis Salam mencari burung hud-hud untuk mengemban tugas melihat suatu negeri yang letaknya sangat jauh. Sungguh penafsiran itu bertentangan dengan redaksi (pernyataan) Al-Qur’an, dimana Allah tidak berfirman bahwa Nabi Sulaiman Alaihis Salam mencari burung hud-hud, tetapi Allah berfirman, “… dia memeriksa burung-burung.” (An-Naml: 20). Kemudian Nabi Sulaiman Alaihis Salam mengancam burung hud-hud karena penolakannya terhadap perintahnya. Setelah kerajaannya berdiri di atas prinsip keadilan yang sempurna maka ia mengecualikannya, seraya berkata, “Sungguh aku benar-benar akan mengadzabnya dengan keras, atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang. Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Ilah Yang disembah kecuali Dia, Rabb Yang mempunyai ‘Arsy yang besar.” (An-Naml: 21-26). Dalam tempo waktu yang singkat, burung hud-hud datang menemuinya dengan membawa sebuah berita yang besar.
Burung hud-hud mengabari Nabi Sulaiman Alaihis Salam mengenai adanya sebuah kerajaan di negeri Yaman yang dipimpin oleh seorang ratu, dimana ia telah diberi segala sesuatu yang dibutuhkan sebuah kerajaan, dan ia pun memiliki singgasana yang besar. Karena burung hud-hud telah mengetahui tentang kerajaan, kekuatan serta agama mereka, dimana mereka adalah orang-orang yang menyekutukan Allah Ta’ala dan menyembah matahari, sehingga ia menolak dengan tegas perintah supaya mendatangi mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa binatang-binatang mengenal Rabbnya, mensucikan-Nya, dan mengesakan-Nya, mencintai orang-orang yang beriman dan membenci orang-orang yang kafir yang mendustakan ayat-ayat Allah. Burung hud-hud menunjukkan ketaatannya kepada Allah dengan penolakkannya tersebut. Nabi Sulaiman Alaihis Salam berkata kepadanya, “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. Pergilah dengan (membaca) suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan (An Naml: 27 – 28).
Kemudian burung hud hud pergi dengan membawa sepucuk surat (dari Nabi Sulaiman Alaihis Salam) yang dijatuhkannya ke dalam kamar ratu tersebut. Ketika ratu tersebut membacanya, maka ia menganggapnya sebagai surat yang sangat penting dan ia merasakan suatu kekhawatiran yang luar biasa, sehingga ia segera mengumpulkan para pembesar kaumnya, seraya berkata, “Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (An-Naml: 29-31). Sepucuk surat yang singkat tulisannya dan padat maknanya, yang mencakup seluruh maksud yang dikehendakinya, sang ratu berkata, “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini).” (An-Naml: 32). Yakni bermusyawarahlah kamu semua denganku. Pernyataannya itu menunjukkan kepemimpinan dan pengambilan kebijakannya yang baik; yang ditetapkannya melalui musyawarah dengan para pembesar kaumnya: “Aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).” (An-Naml: 32). Mereka menjawab, “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.” (An-Naml: 33). Yakni kami siap menunaikan perintahmu baik berperang atau berdamai dan kami menyerahkan keputusan tersebut kepada pilihanmu. Akhirnya ia menetapkan niat dan kebijakannya menghindari perang dan memilih berdamai setelah mempertimbangkannya secara seksama serta penuh kehati-hatian, seraya berkata, “Aku akan segera mengirim utusan dengan membawa hadiah kepadanya “dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.” (An-Naml: 35). Jika ia termasuk salah seorang raja dari raja-raja yang tidak menghendaki selain kekayaan dunia, dimana terkadang hadiah dapat menodai kemuliaannya, niscaya dapat aku katakan, bahwa niatku berdamai dengannya adalah suatu yang jauh (mustahil). Sedangkan jika ia tidak termasuk golongan raja yang seperti itu, niscaya perdamaian dengannya akan kita laksanakan.
Kemudian ratu itu mengirim beberapa orang utusan yang cerdas, bijaksana, berpengalaman serta berpengetahuan luas. Ketika mereka menyerahkan hadiah kepada Nabi Sulaiman Alaihis Salam, beliau berkata, “Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” (An-Naml: 36). Mendengar perkataan tersebut, maka jelaslah bagi mereka bahwa Nabi Sulaiman Alaihis Salam tidak memiliki tujuan duniawi, tetapi tujuannya ialah menegakkan agama dan menyeru hamba-hamba Allah supaya memeluk Islam. Kemudian ia berpesan kepada para utusan itu tanpa melalui sepucuk surat, seraya berkata kepada salah seorang dari mereka: “Kembalilah kepada mereka sungguh Kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina.” (An-Naml: 37).
Nabi Sulaiman Alaihis Salam mengetahui, bahwa mereka akan tunduk dan memeluk Islam, lalu beliau berkata kepada mereka yang biasa diajaknya bermusyawarah: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat membawanya lagi dapat dipercaya.” (An-Naml: 39). Sedangkan jarak perjalanan antara kerajaan Nabi Sulaiman Alaihis Salam dengan negeri Syam adalah dua bulan perjalanan pulang pergi (sebulan perjalanan pergi dan sebulan perjalanan pulang). Kemudian orang yang berilmu dari Al-Kitab berkata, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” (An-Naml: 40). Berkenaan dengan orang tersebut, maka sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir, bahwa ia adalah seorang laki-laki yang shaleh yang telah dikaruniai ilmu tentang nama Allah yang sangat agung (Al-Ism Al-‘Azham), jika ia berdo’a kepada Allah dengan nama tersebut, niscaya Allah akan mengabulkannya. Orang tersebut berdo’a kepada Allah dengannya sehingga singgasana itu didatangkan ke hadapan Nabi Sulaiman Alaihis Salam sebelum matanya berkedip. Dimungkinkan bagi orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab mengetahui sebab-sebab yang telah ditundukan oleh Allah kepada Nabi Sulaiman Alaihis Salam, yaitu sebab-sebab yang dapat dijadikan sebagai perantara untuk mendekatkan atau menarik segala sesuatu yang jauh.
Terlepas dari semua kemungkinan tersebut, bahwa orang tersebut telah sanggup mendatangkan dengan sangat cepat ke hadapan Nabi Sulaiman Alaihis Salam sebuah kerajaan yang besar dengan singgasana yang besar. Karena itulah, ketika Nabi Sulaiman Alaihis Salam melihat kerajaan itu telah berdiri di hadapannya maka ia pun mengucapkan pujian kepada Allah atas karunia-Nya itu, seraya berkata, “Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (An-Naml: 40). Kemudian Nabi Sulaiman Alaihis Salam berkata kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya: “Robahlah baginya singgasananya.” (An-Naml: 41). Yakni rubahlah di dalamnya dengan mengadakan penambahan dan pengurangan “maka kita akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenal(nya).” (An-Naml: 41). Nabi Sulaiman Alaihis Salam berharap bahwa pikiran ratu itu akan memujinya, sehingga pikirannya dapat memahami kebenaran. Ketika ratu tersebut datang, maka dikatakan kepadanya: “Serupa inikah singgasanamu.” (An-Naml: 42). Nabi Sulaiman Alaihis Salam mengajaknya melihat singgasana tersebut, dan ketika ratu itu melihatnya maka ia mengakuinya sebagai singgasananya, tetapi ketika ia melihat keadaan di dalamnya, maka ia mengingkarinya, seraya berkata dengan perasaan yang penuh keraguan di antara dua kemungkinan: “Seakan-akan singgasana ini singgasanaku.” (An-Naml: 42). Ratu itu tidak mengatakan, bahwa singgasana itu adalah singgasananya, karena di dalamnya ada perbuahan, tetapi ia pun tidak menafikan bahwa singgasana tersebut adalah singgasananya karena ia mengenal bentuknya, sehingga ia mengatakannya dengan kalimat yang menunjukkan kepada dua kemungkinan.
Nabi Sulaiman Alaihis Salam mengetahui keraguan yang ada di dalam pikiran ratu tersebut. Allah Subhanahu WaTa’ala berfirman, “… kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (An-Naml: 42). Jika perkataan tersebut dilontarkan oleh Nabi Sulaiman Alaihis Salam, maka maknanya ialah kami telah diberitahu mengenai pikiran ratu itu serta kami telah mengetahuinya sebelumnya sehingga kami pun dapat memastikan kepadanya mengenai sesuatu yang telah kami kerjakan sebelum kedatangannya. Sedang jika perkataan itu dilontarkan ratu negeri Saba’ itu, maka maknanya ialah “kami telah mendapat pengetahuan” (An-Naml: 42) tentang raja Sulaiman, dimana ia adalah seorang raja yang mengemban tugas kenabian, membawa risalah dan memiliki suatu kekuatan yang luar biasa sebelum kejadian ini, “dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (An-Naml: 42). Yakni orang-orang yang tunduk kepada perkataan Sulaiman setelah keadaannya jelas bagi kami, dan seakan-akan perkataan itu didiskusikannya dengan pikirannya yang benar, dan pikirannya berkata kepadanya, “Bagaimanakah ia beribadah kepada selain Allah, dan bagaimanakah pikiran itu dapat bersatu dengan ibadah kepada sesuatu yang tidak memberikan manfaat dan tidak mendatangkan madharat, bahkan mendatangkan kemadharatan pada orang yang menyembahnya?”
Kemudian diperoleh jawaban, seperti disinyalir Allah Subhanahu WaTa’ala dalam firman-Nya, “Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.” (An-Naml: 43). Yakni akidah salah yang dipegangnya dan jalan sesat yang ditempuhnya telah menguasai akal sehat orang yang berakal serta menumpulkan kecerdasan orang yang cerdas, sehingga sebab-sebab yang mendatangkan keberkahan yang menjelaskan kebenaran yang semestinya diikuti tertutup baginya.
Nabi Sulaiman Alaihis Salam memiliki istana yang lantainya sangat licin (bening) terbuat dari kaca dan di bawahnya mengalir sungai-sungai sehingga orang yang melihatnya akan menyangka bahwa itu air yang mengalir, karena kacanya sangat tipis, sehingga ketika ia mengatakan kepada ratu Saba’: “Masuklah ke dalam istana.” (An-Naml: 44), maka ratu itu melihat lantai istana tersebut dikiranya sebuah kolam yang besar, sehingga ratu tersebut menyingkapkan kain penutup kedua betisnya. Melihat kejadian itu, maka Nabi Sulaiman Alaihis Salam berkata, “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.” Mendengar hal itu, maka Ratu Saba’ berkata, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Rabb semesta alam.” (An-Naml: 44). Kemudian ratu Saba’ berserah diri kepada Allah yang diikuti oleh kaumnya. Dalam suatu riwayat diceritakan; bahwa Nabi Sulaiman Alaihis Salam menikahinya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Pada masa Nabi Sulaiman Alaihis Salam; Allah Ta’ala telah menundukkan syetan-syetan kepadanya, dan Allah menyampaikan kepadanya bahwa mereka telah berkumpul dengan manusia untuk mengajari mereka tentang ilmu sihir. Kemudian Nabi Sulaiman Alaihis Salam mengumpulkan mereka, mengancam mereka dan mengambil kitab-kitab sihir mereka dan menguburnya. Ketika Nabi Sulaiman Alaihis Salam wafat, maka syetan-syetan itu datang kepada manusia, seraya berkata, “Sesungguhnya kerajaan Sulaiman didirikan di atas pondasi sihir, kemudian mereka meminta manusia untuk menggali kitab-kitab sihir yang dikubur Nabi Sulaiman Alaihis Salam serta menyebarkan tipu daya mereka kepada manusia dengan mengatakan, bahwa kitab-kitab sihir tersebut diambil dari istana Nabi Sulaiman Alaihis Salam dan sesungguhnya Nabi Sulaiman Alaihis Salam adalah seorang penyihir. Berita itu diyakini oleh sekelompok Yahudi. Kemudian Allah Ta’ala membebaskan Nabi Sulaiman Alaihis Salam dari tuduhan tersebut, dan Allah menjelaskan bahwa sihir itu sebagaimana diketahui dapat mendatangkan kemadharatan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir).” (Al-Baqarah: 102). Yakni tidak belajar sihir dan menyetujuinya, melainkan “setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).” (Al-Baqarah: 102). Ini termasuk keagungan Al-Qur’an, dimana ia memerintahkan manusia supaya beriman kepada semua rasul dan mengingatkan manusia terhadap sifat-sifat para rasul yang terpuji serta mensucikan para rasul dari perkataan manusia tentang mereka yang menafikan kerasulan mereka.
Kemudian Allah Ta’ala telah menguji Nabi Sulaiman Alaihis Salam dan mendudukkan di atas kursinya sesosok tubuh, yakni salah satu syetan; dimana ujian itu dimaksudkan sebagai teguran terhadap suatu kesalahan yang telah diperbuatnya dan sebagai cara untuk mengembalikannya kepada ketundukkan yang sempurna kepada Rabbnya. Berkenaan dengan kejadian itu maka Allah Subhanahu WaTa’ala berfirman, “…kemudian ia bertaubat.” . Ia bertaubat kepada Allah Subhanahu WaTa’ala dengan hati, lisan serta badannya; baik lahirnya maupun batinnya, seraya berdo’a: “Ya Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (Shad: 35). Allah Ta’ala mengabulkan do’anya serta memenuhi tuntutannya dengan mengampuni dosanya dan semua yang telah diperolehnya sebagaimana telah dijelaskan.
Allah Ta’ala telah mengkaruniakan Nabi Daud Alaihis Salam dan Nabi Sulaiman Alaihis Salam ilmu dan kebijaksanaan, dan secara khusus Allah telah menambah karuniaNya kepada Nabi Sulaiman Alaihis Salam dengan memberinya kefahaman (terhadap bahasa binatang-binatang), sebagaimana ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ [الأنبياء : 78]
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya.” (Al-Anbiya’: 78).
Yakni saat kambing-kambing itu memasuki kebun mereka di malam hari dan merusak tanaman dan pepohonannya, kemudian Nabi Daud Alaihis Salam menetapkan hukum menurut ijtihadnya, bahwa kambing-kambing tersebut menjadi milik pemilik kebun karena menurut pandangannya bahwa pemilik kambing itu harus mengganti kerugian yang diderita oleh pemilik kebun. Kasus itu diadukan kepada Nabi Sulaiman Alaihis Salam, dan ia menetapkan hukuman, bahwa pemilik kambing-kambing harus menggantikan pemilik kebun dalam menggarap, menyirami, mengganti tanaman atau pepohonan yang telah dirusak dan merawatnya, sehingga keadaannya kembali seperti semula (sebelum dirusak). Juga pemilik kambing harus menyerahkan kambing-kambingnya untuk sementara waktu kepada pemilik kebun tersebut untuk diambil manfaatnya seperti air susunya, bulunya dan hasil lainnya yang diperoleh pemanfaatan kambing-kambing tersebut sebagai ganti dari manfaat yang diperoleh dari penggarapan kebunnya dalam tenggang waktu tersebut. Hukuman yang ditetapkan oleh Nabi Sulaiman Alaihis Salam dipandang lebih tepat dan lebih bermanfaat bagi pemilik kambing serta pemilik kebun. Berkenaan dengan kasus tersebut, Allah Subhanahu WaTa’ala berfirman,
وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا [الأنبياء : 79]
“… dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu.” (Al-Anbiya’: 79).
Penetapan hukum di atas setara dengan penetapan hukum yang ditetapkan Nabi Daud Alaihis Salam dan Nabi Sulaiman Alaihis Salam di antara dua orang perempuan yang sedang bepergian dan masing-masing membawa bayi laki-lakinya. Seekor srigala menghampiri bayi milik perempuan yang sudah tua dan menerkamnya. Perempuan yang sudah tua menuduh bahwa bayi yang selamat dari terkaman serigala ialah bayinya, tetapi perempuan yang masih muda menolaknya dan mengatakan, justru srigala itu menerkam bayi milik perempuan yang sudah tua.” Kemudian kedua perempuan itu mendatangi Nabi Daud Alaihis Salam dan mengadukan kejadian itu kepadanya. Karena Nabi Daud Alaihis Salam tidak melihat bukti lain, selain pengakuan masing-masing dari keduanya, sehingga menurut ijtihadnya bahwa bayi itu harus diserahkan kepada perempuan yang sudah tua karena kasihan kepadanya, mengingat usianya yang sudah tua. Sedangkan perempuan yang masih muda, mengingat usianya yang masih muda, sehingga ia masih memiliki kesempatan untuk dikarunia anak oleh Allah Ta’ala di masa mendatang sebagai gantinya. Kemudian masalah itu diadukan kepada Nabi Sulaiman Alaihis Salam, dan ia berkata kepada keduanya: “Bawalah kepadaku pisau, dan aku akan membaginya di antara kamu berdua.” Perempuan yang sudah tua merestui keputusan tersebut. Sedang perempuan yang masih muda ketika ditetapkan penyelesaian masalah itu antara membinasakan dan membiarkannya tetap hidup meski berada di tangan perempuan selainnya, maka ia memilih penyelesaian yang sangat ringan resikonya di antara dua ketetapan tersebut, seraya berkata, “Bayi itu adalah anaknya, hai nabi Allah.” Nabi Sulaiman Alaihis Salam mengetahui sikap alami tersebut yang merupakan bukti nyata, bahwa bayi itu bukan anak perempuan yang sudah tua, karena sikapnya yang merestui penyelesaian dengan cara membaginya menjadi dua bagian dan membinasakannya. Adapun pengakuannya terhadap bayi milik perempuan lain semata-mata disebabkan kedengkian. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa bayi itu milik perempuan yang masih muda, ketika ia mengambil sikap mengalah dan bergeser dari keputusan membaginya menjadi dua bagian kepada keputusan membatalkan pengakuannya, sehingga Nabi Sulaiman Alaihis Salam menatapkan keputusan hukum, bahwa bayi itu milik perempuan yang masih muda.
Tidak diragukan lagi, bahwa menetapkan ketetapan hukum yang tepat dalam menyelesaikan masalah membutuhkan sejumlah bukti, sejumlah keterangan yang mengindikasikan pembuktian dan sejumlah saksi. Itulah di antara pemahaman yang diberikan Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya.

workshop IT

kegiatan Workshop PAI berbasis IT